Senin, 22 Agustus 2011

Di Rumah Nenek


Usai tamat SMP aku diminta tinggal di rumah nenek. Untuk mencapai rumah nenek, kami harus menempuh perjalanan 7 jam perjalanan bus. Sebuah tempat yang sunyi dan aku harus naik sepeda ke sekolah di SMA di ibukota kecamatan. Sebenarnya aku sedih, karena aku disekolahkan di tenmpat nenek dengan dua alasan. Pertama karena kakek baru saja meninggal dan aku harus menemani nenek, sebagai hukuman bagi
kenakalanku. Dari pada tak sekolah lagi, akhirnya aku mengikuti kehendak ayah dan ibuku untuk tinggal di rumah nenek, ibu dari mamaku.
Sebenarnya nenekku sangat memanjakanku, karena aku cucu tertuanya. Setelah mendaftar ke sebuah sekolah, aku harus tinggal di rumah nenek berkisar 11 hari lagi sebelum masuk sekolah. Aku pun menemani nenek ke kebun dan sebelum pulang, kami selalu mandi di sungai kecil. Airnya bening dan sejuk. Sementara nenek mencuci pakaian beberapa potong sore itu, aku masih sempat bermain mencari udang kecil di sungai dan menangguk ikan kecil di tepian. Usai mencuci pakaian nenek membuka semua pakaiannya di hadapanku, sampai bugil dan dia mulai mandi di ujung ladang. Mungkin nenek memikir aku masih kanak-kanak dan dia t ak malu mandi bertelanjang, padahal usiaku sudah 15 tahun, serta walau beberapa lembar bulu-bulu di pangkal kemaluanku mulai tumbuh.
"Sini kami mandi juga, biar aku sabuni," nenek memanggilku. Aku m elihat teteknya menjuntai. Tubuh nenekku walau sudah berusia 52 tahun, masih kelihatan padat. Dia seorang dukyun beranak di desa itu dan ahli dalam membuat jejamuan. Aku pun telanjang, lalu nenek memandikanku, seperti biasanya, setiap kali mandi bersama. Tubuhku disabuni dan aku pun mencelupkan tubuhku ke dalam air yang dalamnya hanya sedengkul orang dewasa. Lebar sungai tak lebih dari dua meter saja, dengan kerikil dan pasir yang bersih.
Seusai mandi, kami memakai handuk bersih, lalu pulang ke rumah. Nenek menjujung satyuran di kepalanya serta menenteng cucian sedang aku memikul kayu-layu ranting untuk kebutuhan memasak. Kami berjalan menuju rumah. Kami tiba sebelum mahgrib tiba. Cepat nenek menyiapkan makanan malam kami, sembari melaksanakan shalat mahgrib. Tidak seperti t ahun lalu, kami harus memasang lampu minyak, karean listruik belum masuk. Tapi kedatanganku kali ini, listrik sudah masuk, hingga tak perlu repot lagi memasang lampu mintyak tanah.
Segarnya udara desa membuat makanku lahap, terlebih telah letih nmembantu nenek di ladang serta berendam di air sungai sebelum pualng. Baru saja pukul delapan malam, mataku sudah mengantuk. Aku memakai kain sarung untuk tidur dan nenek sudha menyiapkan tempat tidur kami. Seperti biasa, kemanjaanku jika ke rumah nenek, aku selalu tidur dengannya, dan kakek selalu saja mengungsi untuk tidur. Malam ini walau ibuku sudah menyiapkan sebuah kamar lengkap dengan tempat tidurnya serta sebuah meja kecil untuk tempatku belajar, nenek tetap saja memintaku untuk tidur bersamanya. Akhirnya aku tidur dengan nenek di atas ranjang yang biasa aku tiduri setiap kali aku ke desa.
Tengah malam, aku kedinginan. Kecika aku kecil, biasanya aku dibawa nenek ke dalam kain sarungnya, kemudian kami ditindih dalam satu selimut tebal, agar aku hangat. Kali ini, justru aku yang memasuki kain sarung nenek. Kubuka kain sarung nenek dan aku masuk ke dalamnya. Saat nenek terbangun waktu aku memasuki kain saruingnya, dia hanya tersenyu saja.
"Dingin..." sapanya. Nenek malah melebarkan akin sarungnya agak aku bisa masuk ke dalamnya menjadi satuy kain sarung dengannya. Kemudian nenek menindih tubuh kami dengan selimut tebal. Aku merasa hanya. Saat aku mau memperbaiki sarungku, tangankiu tang kuturunkan ke bawah, menyentuh bulu-buu du selangkangan nenek. Ternyata sejak dulu nenek tak pernah memakai celana dalam kalau tidur. Tiba-tiba burungku mengeras. Nenek terus memelukku, agar aku hangat.
Otakku mulai berpikir keras, bagaimana agar kain sarungku sendiri bisa kulorotkan. Dengan demikian burungku akan berhadapan langsung dengan Anu-nya nenek.
Perlahan kulepas gulungan kain sarungku dan aku melorotkannya ke bawah dengan hati-hati dengan kedua kakiku. Sampai kemudian aku merasakan kulit perutku dan perut nenek mulai bersentuhan. Saat tangan nenek mau membetulkan kain sarungku aku langsung memeluk nenek kuat-kuat. Nenek mengira, aku benar-benar kedinginan. Makin lama, sarungku makin kebawah dan akhirnya terlepas dari tubuhku. KUmasukkan sebelah kakiku ke antara kedua kaki nenek. Pahaku sudah menrasakan gesekan halus bulu-bulu yang ada di pangkal paha nenek. Burungku sudah mengeras dan berdiri tegak, sudah berada di antara kedua paha nenek.
"Hmmmm...." nenek mendehem. Aku tak perduli, Nafsuku sudah benar-benar tak bisa aku kontrol. BYUkankah aku cucu kesayangan nenek. Aku yakin, nenek tidajk akan melaporkan aku kepada siapapun. Aku mengelus pantat nenek dan kembali nenek mendehem. Dengan sebuah gerakan yang cepat, aku menaiki tubuh nenek dan kedua kakiku sudah berada di antara kedua kakinya. Aku arahkan dengan sebelah tanganku ujung burungku ke Anu nenek. Aku merasakan ujung mulut burungku sudah menempel di tempat yang lembab dan hangat. Saat itu, nenek berusaha menolak diriku. Apakah burungku terlalu kcil atau Anu nenek yang sudah basah atau entah apa namanya, tau-tau burungku sudah berada di dalam lubang Anu nenek.
"Hmmm..." nenek kembali mendehem. Aku pun mulai secara reflek memompa tubuh nenek, seperti yang selalu kami saksikan dalam BF dengan teman-teman. Terus menerus tubuh nenek aku pompa. Selimut tebal yang menindih tubuh kami sudah terlepas dari tubuh kami ke lantai. Demikian juga kain sarung nenek, sudah melorot ke bawah. AKu berusaha melepaskan kain sarung itu bisa lepas dari tubuh kami. Akhirnya dengan tangan dan kakiku, kain sarung itu, lepas juga dari tubuh kami, hingga kami sudah setengah telanjang.
Kulihat mata nenekku masih tertutup. Aku memeluknya dan terus menggenjotnya dari dari atas. Sampai akhirnya kedua kaki nenek mengangkang lebar dan aku mendengarkan nafasnya memburu. Aku memeluknya dan terus memompanya. AKu semakin tak tahan dan mempercepat genjotanku pada lubang nenek. Aku merasakan, kedua tangan nenek memelukku dari bawah dan aku merasakan dengusan nafasnya di leherku.
"Ahhh...." aku melepaskan spermaku beberapa kali ke dalam lubang nenek. Kutekan tubuhnya dan aku memeluknya kuat. Sebaliknya aku merasakan nenek balas memelukku dari bawah pada tubuhku, Walau spermaku sudah habis kutumpahkan, nenek masih memelukku dan nafasnya mendengus-dengus dan kemudian perlahan pelukannya melemah.
Burungku mengecil dan meluncur keluar dari lubang nenek. Aku turun dari tubuh nenek dan terbaring di sisinya. TIba-tiba nenek menarik kembali selimut dan menutupi kedua tubuh kami, tanpa kain sarung.
"Ayo... bangun..." mandi dulu, biar sarapan," kata nenek membangunkanku yang terlambat bagun. Saat aku terbangun, nenek sudah keluar dari kamar. Kubuka selimut dan aku terkejut, kenapa aku tidak memakai kain sarung. Aku baru teringat kembali apa yabng terjadi tadi malam. Aku tersenyum sendiri. Aku langsung ke belakang rumah dan menimba air dari sumur, memenuhi beberapa ember, baru aku mandi. Nenek sudah siap memasak sarapan dan sudah terhidng di atas meja makan. Kulihat nenek sudah siap sarapan dari piring bekas yang ada di atas meja.
Usai makan, aku tidak melihat lagi nenek di rumah. Pasti sudah ke ladang, pikirku. Aku menutup dan mengunci rumah, aku menyusulnya ke ladang. Aku mendekati nenek dan membantunya bekerja. Kami bercerita, kalau sebentar lagi buah manggis akan matang dan bisa di jual ke pasar. Mungkin minggu depan kami sudah bisa menjualnya. Nenek berjanji akan membelikan aku sepatu batu, Aku senang sekali. Siangnya, kami makan di gubuk ladang yang dari rumah hanya berkisar 300 meter saja. Sorena sebelum kembali ke rumah, kami mandi lagi di sungai seperti kemarin dan nenek tetap mandi telanjang, setelah itu dia memandikanku dan menyabuni tubuhku. Malamnya kami tdiru bersama lagi dan demikian untuk seterusnya.
Malam ke empat di rumah nenek, entah kenapa, tiba-tiba nafsuku bangkit lagi. Aku tidak memasuki sarung nenek, melainkan, aku menurunkan sarung nenek sampai lepas dari tubuhnya. Saat aku menurunkan sarung nenek, nenek hanya mendehem saja dan berusaha menahan kain sarungnya jangan sampai turun. Tanganku lebih kuat dan lebih cepat, hingga sarung nenek sudah lepas dari tubuhnya. Kubuang sarung itu ke lantai. Nenek pun membelakangi tubuhku, dia tidur miring. Aku melepas kain sarungku pula serta semua yang melekat di tubuhku. Setelah itu, aku memeluk nenek dan meraba-raba bulu-bulu yang ada di bawah pusatnya. Nenek hanya mendehem dan berusaha agar tanganku tidak merabanya. Tapi jari tanganku bahkan sudah memasuki lubang lembab dan hangat itu. Aku permainkan jariku di lubang nenek. Sebelah tanganku melepaskan pakaian nenek bagian atas. Nenek tetap meniolak dengan tangannya.
Kutelentangkan nenek dan kukangkangkan kedua kakinya dan aku berada di antara kedua kakinya, lalu aku mengarahkan burungku ke lubang lembab beraroma khas itu. Clup, burungku sudah memasukinya. Aku menindih tubuh nenek dengan matanya yang terpejam. Seperti kodok, aku mulai membuka pakaian atas nenek. Walau nenek berusaha melawan, tapi akhirnya, pakaian itu le4pas juga dan kami sama-sama bugil. Tetek nenek yang besar berwarna coklat dengan pentilnya berwarna hitam, langsung aku sedot-sedot. Aku mulai mengenjor nenek dari atas. Butungku yang besarnya biasa saja, tetap keras, ketika aku semakin cepat menggenjotnya.
"Ah... akh..." nenek mendesah dan menggerak-gerakkan pantatnya dari bawah. Kami berpelukan dan terus saling menggoyang sampai akhirnya aku berbisik ke telingan nenek.
"Nek... aku mau keluaaaaarrrr..."
Nenek diam saja dan terus menggoyang-goyangkan tubuhnya dari bawah dengan nafasnya yang memburu serta memelukku kuat. Kami berpelukan, makin lama makin kuat. Aku tak mampu menahan ledakan dari dalam tubuhku dan aku memuncratkan spermaku beberapa kali dan nenek tetap memelukku dengan kuat. Kemuduian kami tertidur pulas.
Pulang dari pasar, nenek benar-bvenar membelikan aku sepatu baru untuk sekolah, juga pakaian dan aku meminta jacket. Banyak kebutuhanku yang dibelikan nenek. Orang-orang desa mulai angkat suara membuat nenek bangga.
"Wah... borong semua untuk cucu ya. Enak punya cucu, uang habis gak terasa..." ocehan tetangga. Nenekku senyum dan bangga.
Beberapa malam kami tidak melakukannya. Setiap kami melakukannya, kami tak pernah menyinggung sedikit pun apa yang telah kami lakukan pada malam harinya. Kami hanya cerita yang lain, bahkan seakan tidak pernah terjadi apa-apa pada diri kami.
Karean letihnya begitu usai makan malam, aku langsung minta diri untuk tidur. Aku merasa diriku melayang-layang di udara entah dimana dan mau kemana. Aku merasa sangat nikmat. Saat aku sadar dan membuka mataku, burungku sudah berada dalam kuluman mulut nenekku. Sampai akhirnya burungku keras sekali. Aku mengelinjang. Aku merasa tubuhku, ternyata tubuhku sudah telanjang bulat, Saat kuintip dari sebelah mataku, nenek juga sudah telanjang bulat.
Nenek naik mengangkangi tubuhku. DItangkapnya burungku dan dicelupkannya ke dalam lubangnya. Kedau tangannya berada di sisi dadaku, Dengkulnya juga berada di sisi tubuhku. Aku merasa nenek menekan tubuhnya kuat-kuat dan burungku terbenam habis dalam lubangnya.
Tak lama kemudian nenek memutar-mutar pantatnya, membuat burungku terasa dipelintir-pelintir di dalam lubangnya. Aku pun menggelinjang. Tapi seperti kebiasaan kami, antara aku dan enenk saat bersetubuh, tidak pernah mengeluarkan kata-kata, kecuali ah... ssstttt dan hanya satu kata saja. Kami sudah saling mengerti.
Nenek menekankann teteknya ke dadaku. Daging kenyal itu membuatku sangat bergairan dan aku memeluknya dengan kuat. Nenek mengecup bibirku dan menjulurkan lidahnya ke mulutku. Leherku dijilatinya dan nenek menecup di bagian-bagian tubuhku. Aku merasakan kenikmatan yang luar biasa. Dan kami saling memeluk kuat dan mendesah, lalu aku melepaskan spermaku dalam lubang nenek. Nenekpun melemah dan emnindih tubuhku dengan dengusan nafas memburu.
Kami pun tertidur seperti biasa sampai pagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar