Tengah hari pukul 13.00 aku kembali ke dangau setelah membersihkan diriku di pancuran kecil yang tak jauh dari ujung sawah kami. Aku memanggil Harun anakku yang selalu rajin membantuku kerja di sawah. Dua adiknya masih sekolah sedang Harun setamat SMP tak mau lagi meneruskan sekolahnya. Katanya otaknya biasa saja, biarlah dia membantuku di sawah agar kedua adiknya bisa sekolah tinggi.
Harun pun datang. Kami makan berdua di dangau itu yang tingginya dua meter, agar kalau musim padi sudah mulai berbuah atau bunting, kami bisa mengusir burung dari atas dangau itu. Pohon mentimun merembet tiggi ke atas atap dangau dari daun nipah. Kami makan dengan lahapnya dengan ikan asin dan sayur seadanya. BIasanya jika sudah makan lahap, aku suka tertidur pulas sejenak mengembalikan kekuatanku untuk bekerja kembali sampai sore.
Suamiku, seorang supir truk. Dia selalu ke luar kota dan kurang suka ke ladang. Jika tidak pergi ke luar kota membawa truknya, dia lebih suka duduk nongkrong di kedai kopi. Begitulah siang itu, anakku merebahkan dirinya pula di sisiku. Angin sepoi dan suara cicit burung, sesekali menambah persawahan kami terassa semakin sunyi pula. Suara radio kecil yang selalu dibawa ke sawah sedang mendendangkan lagu-lagu melayu yang kami suka.
Entah kenapa, saat aku berbalik ke arah anakku, tanganku berada di atas burungnya. Hup... tak sengaja aku merabanya dan ternyata burung itu sudah mengeras. Ada apaini, biswik hatiku. Untuk menarik secara langsung aku takut, anakku berpikiran lain.
"Burungku sudah besar ya, Mak?" katanya seperti berbisik padaku. Walau usianya masih 15 tahun, tapi aku merasakan apa yang dia katakan itu benar.
"Namanya, kamu mulai dewasa," kataku. Tapi tiba-tiba ada desir di tubuhku. Klentitku seperti mendenyut-denyut. Oh... tidak. Dia anakku, bathinku lagi.
Kalau aku kawain, apa aku sudah bisa punya anak, Mak?" Sulung-ku Harun kembali berdesis.
"Nampaknya sudah... Kenapa?" aku heran juga atas pertanyaannya itu.
"Kalau begitu aku mau bikin anak..."
"Kamu belum kawin kok mau bikin anak? Ada-ada saja." kataku ketus.
"Tak perlu kawin. Aku mau bikin anak sama mamak." katanya.
Aku terkejut mendengar ucapannya. Hatiku berkata keras. Pantas kalau aku mandi di pancuran dia selalu mengamatiku dan aku selama ini tak perduli toh dia anakku. Tapi keinginannya ini, membuat dadaku bergetar dan....
"Boleh ya, Mak?" rengeknya. Aku diam tak bis amenjawab. Keinginanku untuk disetubuhi semakin menyala. Tapi bukan oleh anakku sendiri.
"Maaakkkk...." rengeknya lagi. AKu masih diam. Tiba-tiba aku dipeluknya dan pipiku diciuminya serta tangannya meraba kemaluanku. Angin masih mendesau di dedaunan bambu.
"Haruuuunnnn...." kataku melarang, tapi aku tidak melepaskan pelukannya, karena hatiku ingin terus dipeluk. Harun semakin berani dan memasukkan tangannya meraba memekku dari bawah sarungku. Tangannya begitu mengelus rambut kemaluanku, aku berdesir.
"Nanti dilihat orang.." kataku seakan melarang, padahal aku was-was ada orang melihat kami. Harun diam saja dan mengangkat kain sarungku ke atas, membuat memekku terbentang sudah. Dia pun melorotkan celananya. Dangau yang berdinding hanya 35 Cm itu cukup untuk kami berdua dan tidak akan dilihat oleh sesiapapun dari bawah, terlebih ada rembetan daun-daun mentimun.
Cepat Harun menaiki tubuhku. Dengan kedua kakinya dia mengangkangkan kedua kakiku. Dia mulai menusuk-nusuk kemaluanku, tapi tak kena-kena. Aku kasihan melihatnya, sementara keinginanku untuk disetubuhi semakin menyala panas. Kutuntun burungnya ke liang memekku. Memek yang sudah basah sedari tadi itu, demikian cepat menelan burungnya. Aku memeluknya dari bawah dan Harun secara alami mulai memompa tubuhku. Aku merasa dia sudah demikian mahir memainkan diriku dari atas.
Sakin hausnya aku akan seks, aku demikian cepat orgasme dan Haruin terus memompaku sampai akhirnya dia menyemptrotkan maninya ke dalam ruang memekku. Aku begitu lega dan puas. AKu melihat Harun juga demikian, kemudian di aterlena tidur.
AKu mulai mengerjakan sawah. Setengah satu jam kemudian Harun mendatangiku dengan senyumnya yang khas,
"Terima kasih ya Mak. Semoga aku cepat dapat anak," katanya. Akuter senyum
Sore pun datang, kami mandi di pancuran bergantian. Harun lebih dulu seperti biasa. Kalau biasanya dia menungguku dan menemaniku mandi walau aku mandi pakai basahan, kali ini dia cepat ke dangau dan menyimpan segala. peralatan. Aku pun datang setelah mandi dan wangi dengan sabun yang aromnya menurutku cukup menyejukkan penciuman. Aku menaiki tangga. Begitu aku sampai dilantai dangau, tiba-tiba Harun menarik tanganku sampai aku terlentang di sisinya yang sudah melepas celananya.
"Aku masih mau," katanya sembari memelukku dan menciumiku. Aku juga cepat terbakar, entah kenapa. Mungkin karena tadi pagi aku bertengkar dengan suamiku yang diisukan orang dia punya gundik. Kami pun melakukannya lagi. Setengah jam kami bersetubuh di dangau itu. Kami pun mulai menanami padi, karena sawah sudah bersih.
TIga kali seminggu kami melakukannya di dangau pada siang hari saat matahari terik. Untung atas dangau kami dari nipah, hingga terasa sangat sejuk ditambah angin selalu sepoi. Akhirnya aku hamil. Aku mengatakannya kepada Harun, kalau dalam perutku ada anaknya. Dia senang sekali. Kami sepakat merahasiakannya, seakan anak itu adalah anak ayahnya. Harun semakin sayang padaku. Sejak udia dua bulan, bayi itu selalu kami bawa ke sawah. Kalau tidak menanam padi, kami menanam cabai dan sebagainya, sebelum musim tanah padi datang. Harun semakin raji bekerja. Kami bergantian menjaga anak kami dan bergantian bekerja. Ayah Harun juga merasa bangga pada Harun yang rajin menemaniku ke sawah. Setelah anak kami berusia setahun lebih, aku hamil lagi. Lagi-lagi Harun senang, karena anak keduanya akan lahir.
Sampai akhirnya aku melahirkan anak ketiga dari Harun, dokter mengatakan aku tak boleh lagi melahirkan karean usiaku sudah 43 tahun. Kami pun sepakat, aku dioperasi untuk tidak melahirkan lagi. Sejak saat itu, kami tidak takun lagi hamil dan kegiatan seks kami semakin menyala saja. Usiaku 43 tahun dan Harun sudah 22 tahun. Dia semakin hot saja. Siang itu kami bercerita-cerita, kenapa dia begitu sayang kepada anak tetangga kami yang dangaunya ada di seberag sawah kami. Harun mulai membuka rahasianya. Kalau pemilik dangau di seberang sana adalah adik dari ayah Harun yang mengajarinya bermain seks ketika usia harun masih 13 tahun. Harun mengatakan kalau anak laki-laki yang selalu dia gendong itu adalah juga anaknya. Kini ibu dari anak itu sudah meninggal dunia, pantas kalau Harun memperhatikannya. Aku tercenung. dalam usia sangat muda, ternyata anak sulungku sudah menghamili buklek nya sendiri atau tantenya adik kandung dari ayahnya sendiri.
HOT | HEBOH | HANGAT | SERU
BalasHapus___________________________
MANIAC BOKEP
_____________
MEMEK PACARKU
_____________
mampir ya ke http://warsek.com/
BalasHapus