Minggu, 21 Agustus 2011

Dalam Diam, Kami Bercinta (2)

Ya.. kami terus bercerita tenag sekolah Irvan dan kami sudah bertelanjangbulat bersama.
"Sesekali kita wisata ke puncak yuk ma..." kata Irvan sembari menjilati leherku dan mengelus tetekku. Aku duduk di kursi kaman dan Irvan berdiri di belakangku. Uh... anakku sudah benar-benar dewasa. Dia ingin sekali bermesraan dan sangat riomantis.
"Kapan Irvan maunyake puncak?" kataku sembari menkmatijilatannya. Aku pun mulai menuntunnya agar beradadi hadapanku.

Irvan kubimbing untuk naik ke atas tubuhku. Kedua kakinya mengangkangi tubuhku dan bertumpu pada kursi. Panttanya sudah berada di atas kedua pahaku dan aku memeluknya. Kuarahkan murnya untuk mengisap pentil tetekku.
"Bagaimana kalau malam ini saja kita ke puncak sayang. Besok libur dan lusa sudah minggu. Kita di pucak dua malam," kataku sembari mengelus-elus rambutnya.
"Setuju ma. Kita bawa dua buah selimut ma," katanya mengganti isapan \nya dari tetekku yang satu ke tetekku yang lain.
"Kenapa harus dua sayang. Satu saja.." kataku yang merasakan tusukan penisnya yang mengeras di pangkal perutku.
"Selimutnya kita satukan biar semakin tebal, biar hangat ma. Dua selimut kita lapis dua," katanya. Dia mendongakkan wajahnya dan memejamkan matanya, meminta agar lidahku memasuki mulutnya. Aku membernya. Sluuupp... lidahku langsung diisapnya dengan lembut dan sebelah tangannya mengelus tetekku.
Tiba-tiba Irvan berdiri dan amengarahkan penisnya ke mulutku. Aku menyambutnya. Saat penis itu berada dalam mulutku dan aku mulai menjilatinya dalam mata terpejam Irvan mengatakan:"Rasanya kita langsung saja pergi ya ma. Sampai dipuncak belum sore. Kita boleh jalan-jalan ke gunung yang dekat villa itu," katanya.

Aku mengerti maksudenya, agar aku cepat menyelesaikan keinginannya dan kami segera berangkat. Cepat aku menjilati penisnya dan Irvan Meremas-remas rambutku dengan lembut. Sampai akhirnya, Irvan menekan kuat-kuat penisnya ke dalam mulutku dan meremas rambutku juga. Pada tekak mulutku, aku merasakan hangatnya semprotan sperma Irvan beberapa kali. Kemudian di dudk kembali ke pangkuanku. Di ciumnya pipiku kiri-kanan dan mengecup keningku. Uh... dewasanya Irvan. Au membalas mengecup keningnya dengan lembut.

Irvan turun dari kursi, lalu memakaikan dasterku dan dia pergi ke kamar mandi. Aku kekamar menyiapkan sesuatu yang harus kami bawa. Aku tak lupamembawa dua buah selimut dan pakaian yang mampu mebnghangatkan tubuhku. Semua siap. Mobil meluncur ke puncak, mengikuti liuknya jalan aspal yang hitam menembus kabut yang dingin. Kami tiba pukul 15.00. Setelah check in, kami langsung makan di restoran di tepi saw2ah dan memesan ikan mas goreng serta lapannya. Kami makan dengan lahap sekali. Dari sana kami menjalani jalan setapak menaik ke lereng bukit. Dari sana, aku melihat sebuah mobilo biru tua, Toyota Land Cruiser melintas jalan menuju villa yang tak jauh dari villa kami. Mobil suamiku, ayahnya Irvan. Pasti dia dengan isteri mudanya atau dengan pelacur muda, bisik hatiku. Cepat kutarik Irvan agar dia tak melihat ayahnya. Aku terlambat, Irvan terlebih daulu melihat mobil yang dia kenal itu. Irvan meludah dan menyumpahi ayahnya:"Biadab !!!" Begitu bencinya dia pada ayahnya. Aku hanya memeluknya dan mengelus-elus kepalanya. Kami meneruskan perjalanan. Aku tak mau suasana istirahat ini membuatnya jadi tak indah.

Sebuah bangku terbuat dari bata yang disemen. Kami duduk berdampingan diatasnya menatap jauh ke bawah sana, ke hamparan sawah yang baru ditanami. Indah sekali.
Irvan merebahkan kepalanya ke dadaku. AKu tahu galau hatinya. Kuelus kepalanya dan kubelai belai.
"Tak boleh menyalahkan siapapun dalam hiduap ini. Kita harus menikmati hidup kita dengan tenanag dan damai serta tulus," kata kumengecup bibirnya. Angin mulai berhembus sepoi-sepoi dan kabut sesekali menampar-nampar wajah kami. Irvan mulaui meremas tetekku, walau masih ditutupi oleh pakaianku dan bra.
"Iya. Kita harus hidup bahagia. Bahagia hanya untuk milik kita saja," katanya lalu mencium leherku.
"Kamu lihat petani itu? Mereka sangat bahagia meniti hidupnya," kataku sembari mengelus-elus oenisnya dari balik celananya. Irvan berdiri, lalu menuntunku beridir. Akua mengikutinya. Dia mengelus-elus pantatku dengan lembut.
"Lumpur-lumpur itu pasti lembut sekali, Ma," katanya terus mengelus pantatku. Pasti Irvan terobsesi dengan anal seks, pikirku. Aku harus memberinya agar dia senang dan bahagia serta tak lari kemana-mana apalagi ke pelacur. Dia tak boleh mendapatkannya dari perempuan jalang.
Kami mulai menuruni bukit setelah mobil Toyota biru itu hilang, mungkin ke dalam garasi villa. Irvan tetapmemeluk pinggangku dan kami memesan duabotol teh. Kami meminumnya di tepi warung.
"Wah... anaknyanya ganteng sekali bu. Manja lagi," kata pemilik warung. Aku tersenyum dan Irvanpun tak melepaskan pelukannya. Sifatnya memang manja sekali.
"Senang ya bu, punya anak ganteng," kata pemilik warung itu lagi. Kembali aku tersenyum dan orang-orang yang berada di warung itu kelihatan iri melihat kemesraanku dengan anakku. Mereka pasti tidak tau apa yang sedang kami rasakan. Keindahan yang bagaimana. Mereka tak tahu.

Setelah membayar, kami menuruni bukit dan kembali ke villa. Angin semakin kencang sore menjelang mahgrib itu. Kami memesan dua gelas kopi susu panas dan membawanya ke dalam kamar. Setelah mengunci kamar, aku melapaskan semua pakaianku. Bukankah tadi Irvan mengelus-elus pantatku? BUkankah dia ingin anal seks? Setelah aku bertelanjang bulat, aku mendekati Irvan dan melepaskan semua pakaiannya. Kulumasi penisnya pakai lotion. Aku melumasi pula duburku dengan lotion. Di lantai aku menunggingkan tubuhku. Irvan mendatangiku. Kutuntun penisnya yang begitu cepat mengeras menusuk lubang duburku. Aku pernah merasakan ini sekali dalam hidupku ketika aku baru menikah. Sakit sekali rasanya. Dari temanku aku mengetahui, kalau mau main dri dubur, harusmemakai pelumas, katanya. Kini aku ingin praktekkan pada Irvan

Irvan mengarahkan ujung penisnya ke duburku. Kedua lututnya, tempatnya bertumpu. Perlahan...perlahan dan perlahan... Aku merasakan tusukan itu dengan perlahan. Ah... Irvan, kau begitu mampu memberikaapa yang aku inginkan, bisik hatiku sendiri. Setiap kali aku merasa kesat, aku denga tanganku menambahi lumasan lotion ke batangnya. Aku merasakan penis itu keluar-masukdalam duburku. Kuarahkan sebelah tangan Irvan untuk mengelus-elus klentitku. Waw... nimat sekali. Di satu sisi klentitku nikat disapu-sapu dan di sisi lain, duburku dilintasi oleh penis yang keluar masuk sangat teratur. Tak ada suara apa pun yang terdengar. Sunyi sepi dan diam. Hanya ada desau angin, desah nafas yang meburu dan sesekali ada suara burung kecil berkicau di luar sna, menuju sarangnya.

Tubuh Irvan sudah menempel di punggungku. Sebelah tangannya mengelus-elus klentitku dan sebelah lagi meremas tetekku. Lidahnya menjilati tengkukku dan dan leherku bergantian. Aku sangat beruntung mememiliki anak seperti Irvan. Dia laku-laki perkasa dan penuh kelembutan. Tapi... kenapa kali ini dia begitu buas dan demikian binal? Tapi... Aku semakin menikmati kebuasan Irvan anak kandungku sendiri. Buasnya Irvan, adalah buas yang sangat santun dan penuh kasih.

Aku sudah tak mampu membendung nikmatku. AKu menjepit tangan Irvan yang masih mengelus klentitku jugamenjepit penisnyadengan duburku. Irvan mendesah-desah...
"Oh... oh....oooooohh..."
Irvan menggigit bahuku dan mempermainkan lidahnya di sela-sela gigitannya. Dan remasan pada tetekku terasa begitu nikmat sekali. Ooooooooooohhhh... desahnya dan aku pun menjerit..
Akhhhhhhhhhhhh......... Lalu aku menelungkup di lantai karpet tak mampu lagi kedua lututku untuk bertumpu.
Penis Irvan mengecil dan meluncur cepat keluar dari duburku. Irvan cepat membalikkan tubuhku. Langsung aku diselimutinya dan diamasuk ke dalam selimut, sembari mengecupi leherku dan pipiku. Kami terdiam, sampai desah nafas kami normal.

Irvan menuntunku duduk dan membimbingku duduk di kursi, lalu melilit tubuhku dengan selimut hotel yang tersedia di atas tempat tidur. Dia mendekatkan kopi susu ke mulutku. Aku meneguknya. Kudengar dia mencuci penisnya, lalu kembali mendekat padaku. Dia kecul pipiku dan mengatakan:"Malam ini kita makan apa, Ma?"
"Terserah Irvan saja sayang."
"Setelah makan kita kemana, Ma?" dia membelai pipiku dan mengecupnya lagi.
"Terserah Irvan saja sayang. Hari ini, adalah harinya Irvan. Mama ngikut saja apa maunya anak mama," kataku lembut.
"OK, Ma. Hari ini haerinya Irvan. Besok sampai minggu, harinya mama. Malam ini kita di kamar saja. Aku tak mau ketemu dengan orang yang naik Toyota Biru itu," katanya geram. Nampaknya penuh dendam. Aku menghela nafas.
Usai makan malam, kami kembali ke kamar dan langsung tidur di bawah dua selimut yang hangat dan berpelukan. Kami tidur sampai pukul 09.00 pagi baru terbangun.
BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar