Minggu, 21 Agustus 2011

Simbok (2)



Pagi itu Poanidi tidak sekolah. Dia bangun kesiangan. Diambilnya sepedanya dan diamengitari desa, kemudian memasuki desa isteri kedua Bapaknya. Di sebuah warung dia menemui Bapaknya. Derngan tatapan marah dia temui Bapaknya di warung itu. Bapaknya jengah juga mendapat tatapan Ponidi yang menyelipkan parang di pingangnya.
"Apa apa Tole..." sapa sang Bapak.
"Aku mau bicara."
"Bicara apa. Ayo bicaralah," kata sang Bapak.
"Mari keluar, kita bicara," katanya sete4ngah membentak. Semua yang ada di warung itu terdiam sejenak. Sang Bapak keluar. Tak jauh dari warung kopi, Ponidi menyampaikan kabatr kepada Bapaknya, kalau ibunya sedang hamil.
"Kalau hamil ya sudah. Mau bagaimana lagi. Bagaimana pun dia adeikmu juga," kata sang Bapak dengan tenangnya.
"Aku minta, mulai hari ini, Bapak jangan mengunjungi kami lagi. Jika Bapak datang ke rumah, akan kubelah kepalamu!" bentak Ponidi sembari meninggalkan Bapaknya menuju sepeda dan mengayuhnya pergi.
Sang Bapak sedikit sok juga mendengar ancaman anaknya itu. Tapi dia jadi maklum, karena sang anak pasti akan membela ibuny. Sedikit sedih, sang Bapak mengalah mengikuti kehendak anaknya.
Ponidi cepat pulang ke rumah dan menyampaikan berita itu kepada ibunya. Sang ibu tersenyum getir. Dia mengerti kenapa anaknya berlaku seperti itu. Selain memang sang anak menginginkan agar mereka bebas melakukan apa saja, anaknya juga marah, karena Bapaknya mengkhianati ibunya.,
Siang itu mereka berdua ke sawah. Ponisi seperti biasanya ikut membersihkan sawah dari rerumputan. Pagi yang menghijau sebentar lagi akan bunting, kemudian mengeluarkan hulir-bulirt padi, lalu menguining dan panen, adalah milik mereka berdua. Saat matahari berada di atas ubun-ubun, mereka naik ke dangau-dangau yang agak tinggi yang berdinding 50 Cm saja. Berdua mereka makan di atas dangau. Kali ini, sang Ibu tidak lagi memperlakaukannya sepewrti anak. Tapai melayani Ponidi layaknya seorangh suami. Membuat nasi ke dalam piring dan lauknya serta menyediakan segalanya. Mereka makan lahap sekali.
Usai makan, sang ibu mencuci piring ke parit irigasi yang berair bersih. Ponisi merebahkan dirinya di lantai dangau yang terbuat dari tepas dilapisi sehelai tikat. Tak lama sang ibu menaiki tangga dangau. Dilihatnya Ponidi hanya berkain sarung saja. Sang ibu tersenyum.
"Kamu belum tidur?" sapanya.
"Aku tidak tidur. Aku justru menunggumu," kata Ponidi. Dia tidak memanggil ibunya Simbok, tapi sudah menggunakan kata mu. Ibunya tersenyum.
"Capek ya?" rayu ibunya.
"Gak juga. Tapi aku mau kita melakukannya di sini. Bukan hanya di rumah. Pasti hari panas, dan angin kencang ini, membuat kita lebih nikmat lagi," kataPonidi merayu. Ditariknya tubuh ibunya yang sudah dinyatakannya isterinyta itu rebah dekat di sisinya. Ditariknya tengkuk sang ibu agar mengisap kontolnya. Mulanya ibu merasa risih. Dikutinya juga kemauan anaknya yang sudah menjadi suaminya itu. Kontoil itu cepat membesar dalam mulutnya. Ponidi membalik tubuhnya dan menyingkap sarung ibunya. Ditindihnya sang ibu dan jilatinya memek ibunya. sementara kontolnya dalam mulut ibunya. Sang ibu baru pertama kali merasakan seks seperti ibu. Dia mengikuti saja kehendak Ponidi. Setelah puas, Ponidi mebalik tubuhnya dan menindih ibunya secarakonvensional dan memasukkan kontolnya ke dalam memek ibunya. Mereka berangkulan. Saat gencxar-gencarnya, mereka tidak sadar, kalau Dangau bergetar. Mereka berangkulan dengan kuat dan melepaskan nikmat mereka. Sperma Ponidi demikian banyak terhambur ke luar.
Berdua mereka tertidur pulas di atas danau. Mereka dibangunkan oleh suarakambing yang mengembek ingin dipindahkan tempatnya, karean sudah diterpa panas matahari. Cepat sang ibu bangun dan memindahkan dua ekor kambing ke rumput ang lebih hijau dan subur.
Hampir setiap hari mereka melakukan persetubuhan. Tidak hanay di rumah, juga di dangau sawah bahka di sumur dalam rumah.
Bulan berikutnya, sang ibu tidak mendapat haid lagi. Ibu pun memeriksakan dirinya ke bidan desa. Setelah di tes, positif ibu hamil. Dengan senyum hal itu disampaikannya kepada anaknya Ponidi. Ponidi pun tersenyum dan memeluk sang ibu.
"Dia anakku, kan?"
"Ya... anak siapa lagi. Tapi ini rahasia. Biar Bapakmu tetap m,emberi nafkah untuknya," kata ibu. Mereka berangkulan dan berciuman. Kehamilan tidak membuat mereka surut bersetubuh. Malah sebalinnya mereka semaki buas dan bebas.
Kehamilan sangibu sudahmulai terlihat empat bukan. Bukan berarti dia menghentikan aktifitasnya. Hanya saja dia lagi bekerja sekeras biasanya. Ponisi pun sepulang sekolah cepat-cepat pulang kerumah. Dia meningalkan hobby nya bermain bola. Teman-temannya pun mengerti keadaan Ponidi yang harus membantu ibunya yang sedang hamil.
Ponidi menambah beberapa ekor kambing untukdiangunnya. Dia sudah memiliki 10 ekor kambing yang setiap sore dia harus mengarit rumput untuk makanan kambing-kambing itu. Selain itu, Ponidi juga memeliharaayam dan bebek. Di sepetak tanah di belakang rumahnya dia memelihara ikan lele. Kerja kerasnya untuk tabungan bagi dirinya dan bagi anaknya kelak.
Benar saja. bapaknya tak berani datang ke rumah mereka. Dia hanya bertanya-tanya melalui tetangga. Setiap kali Bapaknyadatang ke warung tak jauh dari rumah, Ponidi laangsung mengasah parang tajam-tajam dan diperlihatkan kepada semua warga desa.
"Berani sajadia dekat ke rumah, kutebas batang lehernya," kata Ponidi. Warga desa pun menyampaikan perihal itu, membuat Bapak Ponidi tak berani mendekat.
Seorang bayi lahir dari rahim sang ibu. Bayi laki-laki yang gagah dengan suaranya yang keras dan deras melengking. Ibu dan Ponidi saling menatap penuh arti. Saat kembali ke rumah dari persalinan praktek bidan desa, Ponidi menggendong anaknya denghan kasih sayang. Sang ibu merasa bahagia, karean Ponidi demikian perhatian pada anaknya.
Sebelum pulang, kepada ibu bidan, sang ibu memintauntuk dipasangkan spiral, agar tak hamil lagi. Tentu sang bidan desa senang melayaninya, karean dia juga adalah petugas KB.
Ponidi kerja keras di sawah dan diladangnya. Dia pabnen sendiri dan menjual sendiri pagi mereka. Uangnya dimasukkan ke dalam tabungan BRI unit desa. Setiap pagi, dia membawa telur bebek ke pasar juga telur ayam dan sayuran. Pulang sekolah dia mengutip uangnya pada orang yang dititipinya, termasuk yang dititipinya itu adalah Buklek-nya sendiri. Nampaknya Ponidi sangat bangga pada kerjanya untuk menghidupi isteri dan anaknya, walau dluaran dia tetap memangilnya simbok.
Setelag 40 hari, untuk pertama kalinya Ponidi menyetubuhi isterinya setelah habis nifas. Meraka sudah bebas melakukannya, karena sudah aman dengan alat KB.
Sang Bapak pun tersdengar meninggal dunia dengan minuman keras oplosan merekasendiri saat pesta miras di HUT Kemerdekaan lalu. Ponidi ikut mengantar jenazah bapaknya ke pemakaman. Dia ikut memikul jenazah Bapaknya.
Dengan keuletan Ponidi, kini dua sudah memiliki enam ekor sapi, belasan ekor kambing dan ratusan ekor ayam dan bebek, serta sudah menambah luas sawah dan ladangnya. Kini dia juga sudah kredit sepeda motor, agar bisa cepat pulang pergi ke sekolah. Dia akan naik sepeda motor juga nantinya kuliah ke ibukota kabupaten untuk ikut D3. Saat itulah anaknya sudah masuk SD. Dia akan menikah, kalau anaknya sudah SMP.
Sang ibu, tetap merawat tubuhnya dengan jamu-jamu buatannya sendiri. Karena dia merasa bahagia, tidak tertekan batrhin ketika dia masih mempunyai suami penjudi dan pemabuk, tubuhnya tetap langsung dan padat, walau sudah berusia 51 tahun.
Persetubuhan di antara mereka terus berlanjut, bahkan lebih hot dan lebih panas. Rasacinta mereka semakin tebal dan semakin asyik saja.


1 komentar: