Beberapa yang ikut satu perahu dengan mereka, ternyata ditemukan meninggal dunia. Jenazah dimakamkan, dan tak lebih dari 10 hari, pulau kecil itu dirundung dukacinta. Setelah itu, semuanya kembali normal kembali. Semua kembali melaksanakan tugasny masing-masing dan duka sudah dapat diatasi.
Maimunah juga mulai melaut, karean suaminya yang sudah lumpuh tak bisa berbuat apa-apa lagi, hany tinggal di rumah mereka yang kecil. Harus diuruskan makan dan mandinya. Bergantian Maimunah dan anak-anaknya mengurus suaminya itu. Dalam sebuah kesepakatan, Burhan mengusulkan agar dia ditemani ibunya untuk bersma melaut dan m,enangkap kepiting serta hal lain yang bisa dilakukan. Sedang dua adik Burhan dengan perahu lain. Isteri Burhan untuk menyiapkan segala sesuatunya di rumah. Kesepakatan itu disetujui oleh seisi penghuni rumah. Kesepakatan itu dimulai esok pagi.
Pagi-pagi sekali Maimunah sudah mempersiapkan sarapan pagi dan bontot untuk dua orang untuk dibawa ke laut dan ke pulau lain. Disiapkan jaring dan jala, serta alat penangkap kepiting. Adik Burhan juga demikian. Selesai sarapan pagi itu, Burhan bersama Emaknya menuju perahu mereka dan dua adiknya menuju perahu lain. Mereka sepakat, Burhan dan Emaknya menuju pulau Lingam dan dua adiknya menuju Pulau Layu. Layar pun dipasang, Burhan mengemudikan perahu itu dengan telaten.
"Apakah Emak mengerti, kenapa aku memilih emak temanku satu perahu?" tanya Burhan di sela-sela desau angin yang membawa perahu mereka melaju. Maimunah tak menjawab dengan kata-kata, tapi dengan senyum. Burhan mengerti jawaban Emaknya. Sebuah senyum pengertian.
"Aku rindu, Mak?" kata Burhan.
"Aku mengerti. Nanti kita ke Pulau Jago-jago dulu, untuk mengambil beberapa ramuan. Emak takut, kalau nanti Emak menjadi hamil," kata Maimunah.
"Jangan, Mak. Aku mau Emak hamil, karena aku. Aku mau kita punya anak, Mak."
"Bagaimana nanti kata orang?"
"Pokoknya aku mau Emak hamil karena aku," kata Burhan menegaskan.
Perahu pun tak jadi diarahkan ke Pulau Jago-jago. mereka meneruskan arah ke Pulau Linggam. Di sana banyak paluh-paluh dan lumpur. Mereka menunggu sebentar pasang surut, agar mereka bisa meraba kerang. Burhan meminta Maimunah mendekat ke arahnya di buritan agar haluan perahu tengkat sedikit ke atas dan angin meniup layar, kemudian laju perahu bisa semakin kencang. Maimunagh pun melakukan permintaan anaknya. Maimunah menyandarkan tubuhnya ke punggung Burhan. Sembari menjaga kemudi, Buhan pun memeluk Emaknya dari belakang. Dimasukkannya tangan kirinya ke dalam baju Emaknya dan dia mengelus tetek Emaknya yang masih kenyal. Emaknya pun merasakan, ada daging menekan-nekan punggungnya. Dia tahu kalau kontol anaknya Burhan, sudah mengeras.
"Hati-hati. Sebentar lagi kita sampai ke pulau. Arahkan haluan ke sebelah kiri. Aku yakin di sana sepi," kata Maimunah. Burhan mengikuti. Begitu beberapa puluh meter lagi di pantai pulau, burhan menurunkan layar dan dia mulai mengkayuh perahu. Langsung Burhan mengkayuhkan ke sela-sela rumpun pohon-pohon Bakau. Ada bebetrapa pasang anak burung mencicit-cicit di pepohonan, merasa terusik ketenanganb mereka tas kehadiran Maimunah dan Burhan.
"Kenapa kita kemari?" tanya Maimunah.
"Agar orang tidak melihat kita. Aku rindu Mak. Aku ingin," kata Burhan serak. Maimunah mengerti maksud anaknya. Sebenarnya Maimunah justru jauh lebih menginginkannya lagi, karena dia sudah merasakan lama tidak disetubuhi dan dia juga sudah measakan betapa nikmatnya disetubuhi Burhan anaknya itu.
Perahu ditambatkan di batang pohon Bakau dengan kuat. Mereka mengambil di sela-sela pohon Bakau yang sangat rimbun dan teduh dari terik matahari. Dengan tidak sabar Burhan langsung menyergap tubuh emaknya dan melapas kain sarung emaknya. Burhan sendiri melepas celana pendeknya yang pinggang celana itu itu hanya berkaret saja. Burhan dari rumah sengaja tidak memakai celana dalam. Emaknya dia tidurkan di atas potongan-potongan papan di atas perahu. Cepat dia mengangkangkan kedua kaki emaknya, lalu dia berjongkok di antara kedua kaki emaknya. Langsung dia cucuk memek yang berbulu lebat itu. Setalah semuanya masuk ke dalam memek hangat itu, Burhan menindih tubuh ibunya dan memompanya dari atas dengan ganas. Kali ini Maimunah yang sudah lama menginginkannya, langsung pula memberikan tanggapan dari bawah. Dia memeluk Burhan kemudian menggoyangkan bagian tubuhnya untuk menjawab pompaan Burhan.
Air berkecipak, karena perahu bergoyang-goyang dan burung-burungpun serentak terbang dari pohon-pohon bakau yang membuat suara dedaunan menjadi bergesekan. Saat itu pula Maimunah tak mampu membendung kenikmatan dalam dirinya. Dia menceracau. Duh... enaknya, duh nimatnya, duh... kontolmu besar juga dan seterus.
Mendengar ceracau emaknya, Burhan semakin bersemangat dan terus mempompanya dari atas, sampai mereka berpelukan erat dan Burhan memompakan spermanya dengan sebanyak-banyaknya ke dalam rahim emaknya.
Setelah semuanya kembali normal, mereka melepas tambatan perahu mereka menuju keluar. Di beberapa tempat mereka memasang jerat kepiting dan Maimunah menyiapkan alat-alatnya untuk merogoh kerang dari lumpur, karena sebentar lagi akan pasang, dia harus cepat. Burhan pun menyiapkan jalanya pula. Saat keluar itu Maimunah menanyakan, bagaimana dan apa alasan kepada siapa saja, bila dia benar-benar hamil.
"Orang kampung kan masih tau, kalau Bapak masih ada," kata Burhan.
"Tapi bapakmu sudah tak bisa lagi melakukan seperti apa yang kita lakukan tadi."
"Tapi apa orang kampung tau, kalau Bapak sudah tidak mampu lagi," tanya Burhan.
"Tidak."
"Kalau tidak, tenanag saja. Orang kampung akan mengira, emak hamil karena Bapak. Tak usah duipikirkan. Yang penting emak harus hamil dari aku," tegas Burhan. Maimunah tersenyum. Dia juga ingin punya anak dari Burhan anaknya itu.
Mereka pun sibuk melakukan tugasnya. Burhan menjaga agak ketengah laut, sedang Maimunah meraba kerang serta memasang alat tangkap kepiting
Bersambung.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar