Minggu, 21 Agustus 2011

Menikahlah denganku Ibu (2)

Pagi itu Imran pergi ke sekolah. Aku termangu sendiri di gubuk kami. Aku mengerjakan pekerjaan rutinku. Aku tak habis pikir, kenapa tadi malam aku tidak menolaknya. Salahkah aku? Aku mengakui, kalau diriku salah, tapi aku juga harus mengakui, ternyata aku membutuhkan seks. Tapi haruskah dengan anak kandungku sendiri? Apa y ang akan terjadi, kalau ini terus berlanjut serta apa pula yang bakal terjadi jika aku harus
menolaknya. Bagimana caraku menolak anak yang paling aku sayangi dan cintai?

Akhirnya, saat makan siang usai, aku menggeletak di amben di depan gubuk yang dinaungi oleh pohon-pohon perdu. Udara panas terik, namun dengan desau angin sepoi dan sesekali ditimpali oleh suara burung dari kejauhan, membuatku tertidur. Bahkan sangat pulas. Saat aku membuka matanya, aku sudah telanjang bulat di dalam gubuk dan disisiku, tertidur pula anakku Imran. Kuraba kemalauanku, aku merasakan ada lendir, sperma anakku. Kutatap ke samping, Imran juga tertidur pulas dan bugil. Kuraba kemaluannya, masih ada lendir. Imran pun kubangunkan, karena hari sudah pukul 15.00 dan dia harus merumput untuk mabing dan dua ekor lembunya.

Saat terbangun, Imran menarik tanganku sampai aku kembali tertidur di sisinya.
"Maaf, Bu. Tadi ibu tertidur di amben dan aku mengangkatnya naik ke gubuk kita. Saat aku mengeletak di samping ibu, ibu mereangkulku dan ibu melepas kain sarung ibu. Lalu kita pun bersetubuh," katanya. AKu diam. Aku berupaya mengingat segalanya. Ternyata aku bermimpi sedang bersetubuh dengan anakku sendiri adalah sebuah kenyataan. Mungkin karena tadi aku demikian memikirkan kejadian tadi malam. Aku diam.

Bersama kami turun ke bawah rumah menuruni tiga buah anak tangga. Matahari mulai menyurutkan sinar teriknya. Imran mulai mengerjakan pekerjaannya dan aku mengerjakan pekerjaanku. Tak berapa lama Imran datang membawa tiga ekor ikan lumayan besar dari bubu yang dia jeratkan di irigasi sawah. Ini hadiah untuik ibu, katanya berlari. Aku menerimanya dan mempesianginya, untuk makan malam kami.

Sore usai mandi, aku menyiapkan masakan malam dan Imran duduk di sampingku. Dia mengatakan aku cantik. Aku tersenyum, karena aku tau itu hanya pujian semu saja. Tapi menurut Imran tidak, dia tulus dan jujur menilaiku masih cantik. Katanya tetekku masih kencang dan kemaluanku juga masih sangat menggairahkan. Dia sudah mulai berani bercerita tentang kemaluanku, tetekku, dan sebagainya dalam sopan santunnya sebagai anak.
"Bu, menikahlah denganku?" katanya memelas.
"Tidak mungkin kita menikah. Orang pasti akan marah dan kita bisa dicincang," kataku. Aku mengerti dia mulai mencintaiku, apakah karena dia sudah mendapatkan seks dariku.
"Orang lain tak perlu tau, Bu. Kita menikah berdua saja," katanya masih memelas.
"Bagaimana caranya menikah hanya berdua," tanyaku heran atas keinginanya.
"Terserah ibu bagaimana caranya," Imran mendesak ingin menikah.
"Untuk apa kita menikah. Walau kita tidak menikah, apa yang kamu inginkan sudah kamu dapatkan?" selaku.
Imran tetap menginginkan aku sebagai ibunya, juga sebagai isterinya. Dia ingin menyayangi sebagainya, juga sebagai isterinya. Menurutnya, dia tidak rela aku menikah dengan laki-laki lain. Agar aku tidak menikah dengan laki-laki lain, maka aku harus menjadi isterinya. Aku heran juga, kenapa dia ngotot, padahal aku tidak punya niat untuk menikah lagi.

Usai makan malam dia siapkan tikar dan dia duduk di hadapanku dan menyamiku. Lalu dia lafaskan:" Aku menikahimu dengan mas kawin selembar kain sarung." katanya. Aku sedih atas perlakuannya itu.
"BNagaimana, Bu? Sah?" tanya Imran layaknya seorang kadhi nikah. AKu mengangguk saja. Sebenarnya aku sendiri tidak mengerti kenapa aku mengangguk. Imran merasa bahagia sekali dan bangga sekali dari perlakuannya menciumku. Aku dibelainya dan bibirku diciumnya. Untuk pertama kali aku berciuman bibir. Lampu pun dimatikan, kecuali sebuah lampu sentir yang mengeluarkan sedikit cahaya dan satu lampu di luar sebagai penerangan, jika siapa di antara kami yang mau keluar.

Perlahanm Imran menelangiku, sembari menjilatyi buah dadaku dan mengelus-elus tubuhku. Dia berbisik perlahan:" Istriku cantik sekali." Aku sedih mendengarnya. Tapi aku merasakan ada ketulusan dari ucapannya itu, membuat aku haru. Setelah kami telanjang berdua, Imran terus menggumulku dan menjilati tubuhku, lalu menjilati kemaluanku, membuatku mengelinjang. Kemaluanku demikian basah, setelah sekian tahun tak pernah disetuh oleh siapapun. Akhirnya aku tak mampu menahan diriku untuk terus berdiam. Aku memeluknya dan ingin sekali dia cepat menusukkan kemaluannya ke dalam lubangku yang basah.
"Aku lah Nak. Cepat dimasukkan, bisikku.
"Ya, Bu. Aku mencintaimu sebagai isteriku," katanya, lalu menusukan kemaluannya dalam lubangku. Duh.... terasa kemaluannya menggesek-gesek dinding kemaluanku dan aku sedikit malu, karena basahnya kemaluannku, setiap cucuk dan tarik kemaluannya, selalu mengeluarkan suara yang ribu. Slep... slop...slep...slop... Suara itu membuatku malu, karean sudah sekian lama aku tidak memperdulikannya dan merawatnya. Tapi Imran mengatakan, dia sangat menikmati suara itu. Aku memeluknya rapat sekali dan sekuat tenagaku, karean aku menrasakan duania kenikmatanku akan tercapai. Cepat kubalikkan tubuh kami hingga posisiku sudah berada di atas tubuh Imran. Aku terus merengkuh kenimkmatanku dan mencari kepuasanku. Akhirnya aku tiba juga pada puncakku. Dan aku melemas.
"Tindih ibu, Nak," kataku ingin dibalikkan agar Imran bisa mendapatkan kepuasannya.

Tubuhku sudah kembali di bawah tubuhnya. IMran terus memompa tubuhku yang sudah lemas. Diciuminya bibirku dan diremasnya tetekku. Gesekan pada dinding rahimku, membuatku demikian merasakan kenimatan, tapi aku masih lemas.
Imran mulai ngos-ngisan dan aku sudah mulai normal. Imran tak boleh kecewa. Aku memberikan perlawanan dan kembali mencari titik kepuasanku. Setiap goyangannya dan balas dengan goyanganku pula. Kami saling merangkul dan terus mencari kenikmatan kami.
"Bu... aku sudah maaaaau......"
"Ayo Nak. Ibu juga sudah mau sampaaaaiiii..." kataku terus menggoyangnya.
Akhirnya, aku tak mampu menahan kenikmatanku dan tanpa sadar aku mendesis, semoga tak ada yang mendengar, karean desisanku menurutku cukup kuat. Lalu aku memanggil namanya. Imraaaaaannnn..... Kurangkul kuat-kuat Imran dan melepaskan puncak nikmatku. Imrabn menekan sekuat-kuatnya kemaluannya ke dalam lubangku dan dia memelukku sekuatnya. Kami berpelukan dengan kuat dan nafas kami memburu dan aku teruys mendesis-desis, sampai kami sama-sama lemas.

Pagi aku terbangun dan menhyiapkan sarapan, sedang Imran masih tertidur pulas. Aku tersenyum. Imran ternyata seorang anak yang perkasa. Aku siapokan telus setengah mateng tiga butir dan aku memasak nasi dan lauknya. Kubangunkan Imran agar segera mandi dan sarapan. Katanya dia ingin tertidur, karean hari itu tidak sekolah. Hari MIngu. Aku baru sadar. Namun dia tetap kupaksa mandi agar segar. Boleh tidur lagi kalau nanti sudah sarapan. Dia pun terbangun dan mengambil handuk lalu pergi ke pancuran kecil dekat sawah untuk menyegarkan tubuhnya.
Kami sarapan bersama. Imran tersenyum dan mencium pipiku.
"Ibu hebat," katanya.
"Kamu juga sangat perkasa. Luar biasa, anak ibu," kataku.
"Istriku juga sangat luar biasa," katanya. Aku terpana, begitu mendengar dia mengatakan kata istriku.
"Bagaimana isteriku sayang? Apakah yang dikatakan suamimu ini tidak benar?"
"Ya Benar. Hanya itu yang keluar ucapan dari mulutku.
JIka berada di dalam gubuk dan kami merasa aman, kami demikian mesranya dan kami sudah saling mengatakan kau dan aku. Bukan ibu atau anak. Di luar gubuk. Imran sudah tiga tahun bekerja di sebuah bengkel dengan penghasilan yang baik. Aku belum hamil juga dan mungkin takkan pernah hamil lagi, tapi gairah kami sama-sama besarnya. Entah sampai kapan kami bisa berhenti, semoga tak pernah berhenti.


1 komentar: